
Anggota BPUPKI, 3 Zaman menjadi Bupati
Riwayat Ningrat Jiwa Merakyat
Riwayat Ningrat Jiwa Merakyat
Soemitro
Kolopaking Poerbonegoro dilahirkan
di Papringan, Kabupaten Banyumas, Karesidenan Banyumas, 14 juni 1887. Dalam Tedhaka
Serat Soedjarah Joedanagaran (koleksi Museum
Sana Budaya, Yogyakarta) memuat teks Salasilah Kiyahi Kertawangsa Kalapahaking Sapindah pada
halaman 128-133[1].
Silsilah tersebut sejalan dengan silsilah milik Mas Atmodipura, patih pensiun
Purbalingga yang ditulis oleh Raden Riya Prayadirja, Wedana Srati Panandon di
Ngayokyakarta Hadiningrat. Bedanya, silsilah pertama tidak mengaju kepada raja
Maja Pahit Brawijaya V, tetapi langsung mengaitkan diri dengan tokoh kiyai
Ageng Mangir IV dan Penambahan Senapati.
Babad
Nagari Banyumas Wiwit Saking Phandita Putra Ing Pajajaran mengatakan bahwa putri Kangjeng Pangeran Arya
Mertadireja III yang lahir dari garwa padmi diperistri oleh Raden Tumenggung
Jayamisena, atau Jayanegara II. Perkawinan ini kemudian melahirkan Kangjeng
Raden Arya Soemitro Kolopaking Poerbonegoro. Dilihat dari silsilahnya, Soemitro
merupakan tokoh keturunan raja Majapahit, yaitu Brawijaya V. Brawijaya V
seringkali dipakai sebagai padanan silsilah di Jawa, seperti halnya Siliwangi
pada masyarakat Sunda. Keduanya adalah tokoh raja legendaris karena tidak dapat
diidentifikasikan dengan tokoh-tokoh sejarah yang termuat di dalam prasasti.
Namun, pengakuan keturunan Majapahit menjadi penting untuk melegitimasikan
suatu trah atau dinasti.
Trah kolopaking sejak semula mengacu juga kepada
tokoh-tokoh dari Mangir yang mempunyai senjata tombak yang ampuh. Kiai Ageng
Mangir IV yang menjadi menantu Kiai Madusena dan Kiai Badranala menunjukan
sebagai wijining atapa yang bergulir
kepada ngabehi di Kalijerek dan selanjutnya Panjer.
Pelarian Sunan Amangkurat Tegalarum yang sampai di
Panjer juga melegitimasikan trah Kolopaking karena asal mula nama trah itu
muncul sebagai hadiah dari sunan, di samping hadiah putri, Raden Ayu Kaleting
Abang. Di sini, sekali lagi dimunculkan trah Mataram bercampur dengan trah
Kolopaking.
Trah yang berasal dari Wedi, Bagelen tampaknya juga
ditampilkan dalam silsilah. Trah lain yang masuk adalah trah Arungbinangan.
Trah ini Nampak pada perkawinan mas Tumenggung Kalapa Aking III dengan putri
Raden Tumenggung Arung Binang II, Bupati Siti Ageng Surakarta. Anak yang lahir
dari perkawinan itu adalah Kangjeng Raden Adipati Jayanegara I. kemudian trah
dari Ambal, yaitu putri Raden Adipati Purbanegara yang menjadi istri Jayanegara
I. perkawinan itu melahirkan Jayamisena atau Jayanegara II. Jayanegara II kawin
dengan putri Pangeran Kangjeng Arya Mertadireja III. Perlu diketahui bahwa
garwa padmi Mertadireja III adalah putri Dipadiningrat, bupati Banjarnegara
1846-1878. Tokoh Soemitro Kolopaking masih keturunan Majapahit, Syekh Geseng,
Mangir, Panembahan Senapati, Amangkurat Tegalarum, Bagelen, Arungbinangan,
Ambal, Mertadiredjan Banyumas, dan Dipayudan Banjarnegara.
Meski dari kalangan ningrat, namun perjalanan hidupnya
ditempa sedemikian rupa sehingga ia terbiasa hidup layaknya rakyat jelata,
terlebih ketika merantau di Eropa. Hal itu pula yang menjadikannya ketika
kembali ke tanah air menjadi orang yang sangat peduli dengan rakyat ketika
menjadi Bupati di era Kolonial Belanda, mampu mengawal transisi dari zaman
Jepang ke zaman Republik Indonesia, dan mampu menjadi pemimpin yang banyak
kiprahnya bagi rakyat.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan
yang ingin diangkat dari makalah ini adalah: Bagaimana kehidupan Soemitro
Kolopaking Poerbonegoro sehingga menjadi anggota BPUPKI dan menjadi Bupati pada
tiga zaman yang berbeda?
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah: untuk
mengetahui kehidupan Soemitro Kolopaking Poerbonegoro sehingga menjadi anggota
BPUPKI dan menjadi Bupati pada tiga zaman yang berbeda.
Riwayat Pendidikan dan Pengembaraan
Soemitro Kolopaking memiliki riwayat pendidikannya
sebagai berikut : Sekolah Jawa (1893-1896), Europese Lagere School (1896-1901),
Gymnasium Willem III (H.B.S 5 tahun) di Jakarta dan Leiden (1901-1907), dan
mahasiswa indologie di Leiden (1907-1914). Kisah
hidup Soemitro sangat mengesankan. Hal itu disinggung oleh Harry A. Poeze dalam
tulisannya yang Berjudul Orang-orang Indonesia di Universitas Leiden.[2]
Tulisan ini menjadi salah satu makalah yang disampaikan dalam rangka
kunjungan Menteri Agama RI, H. Munawir Sjadzali, M.A. ke negeri Belanda (31
Oktober-7 November 1988).
Pada tahun 1907, Soemitro pergi dari Indonesia untuk
mengembara di daratan Eropa. Seorang pamannya yang bernama Raden Danoesoebroto,
patih Purwokerto pada masa itu, membantu kemenakannya dengan uang sejumlah
Rp.300,00 sebagai uang saku. Pemuda Soemitro berangkat ke Eropa dengan membayar
tiket seharga 285 rupiah di kapal Norddeutsche Lloyd Prinz Eitel Friedrich dan mendarat di Antwerp pada musim gugur
dengan membawa uang 15 rupiah dan bungkusan pakain putih yang tipis. Dalam
pengembaraanya itu, Soemitro memakai nama samaran Wilhelm August Snell dan
mengaku keturunan ayah Jerman dan ibu seorang Jawa. Untuk mempetahankan
kehidupannya di Eropa, Soemitro bekerja sebagai buruh dan menulis karangan tentang
Indonesia di majalah Sketch dan Die Woche.
Pada tahun 1908-1909, Soemitro sembari kuliah, juga bekerja
sebagai buruh tambang batubara pada Gewerkschaft
Dentscher Kaiser Bruckkausen Am Rhein, wilayah Ruhr, Jerman. Buruh-buruh
tambang di situ sebagian besar adalah bukan orang Jerman, tetapi dari berbagi
Negara seperti Russia, Polandia, Australia, (?), Belanda, Italia, Denmark,
Belgia, dll. Perbedaan bangsa memang seringkali menimbulkan kesalahpahaman.
Namun, Soemitro melihat bahwasanya masyarakat Eropa pada umumnya tidak
membedakan ras kulit putih dengan ras kulit berwarna.
Soemitro pada tahun 1911 bekerja di pabrik
penggergajian di Riga, ibu kota Latvia. Di situ, Soemitro mengamati
Negara-negara Baltik, seperti Estonia, Latvia, dan Lithuania, masih merdeka.
Namun, pada tahun 1911 pengaruh Russia sudah dapat dirasakan dengan jelas. Dari
Latvia, Soemitro sesekali memasuki Russia. Kehidupan di Russia sangat
feodalistik karena dikuasai oleh para bangsawan (boyar) yang sering melakukan tindakan kejam kepada rakyatnya.
Sebagai pekerja di penggergajian kayu, Soemitro
mengetahui bahwa balok-balok kayu di pabrik itu berasal dari Swedia dan
Finlandia. Soemitro memutukan untuk bekerja dua atau tiga bulan di jawatan
kehutanan di salah satu Negara penghasil kayu tersebut. Orang Russia yang
bekerja sebagai montir menyayangkan keputusan Soemitro. Ia menyarankan agar
Soemitro mengikuti kurus montir dan setelah lulus agar melamar salah seorang
dari tiga putrinya.[3]
Namun, Soemitro menolak tawaran itu dengan alasan akan
menyelesaikan pendidikan dan pekerjaannya di Nedherland. Soemitro yang berjiwa
avonturir ingin mencoba kehidupan di tempat lain. Soemitro diterima bekerja di
jawatan kehutanan di Swedia utara. Karena tidak cocok dengan cuaca yang dingin,
ia mengajukan permohonan untuk dipindahkan ke Swedia Selatan. Soemitro kemudian
menghitung penghasilannya di Latvia dan Swedia dan ternyata cukup untuk
membiayai kuliahnya di Universitas Leiden selama 7-8 bulan. Soemitro menghadap
Rektor Universitas Uppsala di Stockholm agar dapat mengikuti kuliah sebagai
mahasiswa pendengar. Permohonan itu dikabulkan oleh rektor dan Soemitro mencari
pondokan yang murah. Agaknya, Soemitro beruntung karena ia dianggap seperti
anaknya sendiri oleh keluarga Svensen.
Soemitro merupakan seorang mahasiswa bebas yang
mengikuti kuliah pada universitas di mana-mana. Pada awal abad ke-20 di Eropa
Continental terdapat semboyan ilmu
pengetahuan untuk ilmu pengetahuan, sedangkan di Inggris ada semboyan we must make of our daughters and sons
ladies and gentleman.
Pada awal abad ke-20, di Belanda belum banyak
perguruan tinggi, begitu juga dengan mahasiswa yang hanya berjumlah 3.000, atau
3.500 orang. Dari jumlah itu, hanya ada puluhan mahasiswa perempuan. Guru-guru
besar sudah banyak, asisten dan dosen juga cukup. Biaya kuliah setahun sejumlah
200 gulden tanpa tambahan apapun. Universitas menerbitkan panduan kuliah universiteitgids yang berisi jadwal
kuliah dan praktikum sehingga bagi siswa yang memiliki waktu luang dapat mengikuti
kuliah di fakultas lain sebagai mahasiswa pendengar. Hal itu juga bisa di
lakukan di Negara-negara Eropa lainnya yang memakai bahasa pengantar Inggris,
Perancis, dan Jerman dengan syarat menunjukan kartu mahasiswanya. Untuk
mengikuti kuliah di Bonn, Koln, dan Paris hanya mengeluarkan ongkos
transportasi sebanyak 1,88 gulden. Seorang mahasiswa dapat mengikuti kuliah di
mana-mana dengan gratis sebagai pendengar. Mahasiswa-mahasiswa asing diterima
dan dibantu karena kurikulum di Eropa telah disusun bersama, meskipun memakai
bahasa pengantar yang berbeda. Tahun 1908, ia menjadi aktivis Indische
Vereeniging (Perhimpunan Hindia) atas dorongan Abendanon dan Casajangan[4],
yang organisasi tersebut nantinya menjadi cikal bakal Perhimpunan Indonesia.
Soemitro menjabat sebagai sekretaris dalam oraganisasi itu.
Ada satu pengalaman yang amat berharga diperoleh
Soemitro ketika bekerja di Albania dan Mesir. Pengalaman seperti itu tidak akan
didapatkannya di bangku kuliah, yaitu toleransi kehidupan beragama yang mengesankan
hati dan jiwa Soemitro sebagai seorang mahasiswa bebas. Di Albania, Soemitro
menginap di sebuah kota kecil yang bernama Zara. Kota itu terletak dekat laut
Adriatik dan besarnya sama dengan ibukota kecamatan Muntilan, kabupaten
Magelang. Penduduk kota Zara seprtiga beragama Greco Katholik, sepertiga
memeluk Yahudi, dan sepertiga beragama Islam. Di Zara hanya ada sebuah tempat
ibadah. Atas musyawarah para pemimpin agama di Zara ditetapkan bahwa pada hari
Jumat dijadikan masjid, hari Sabtu dijadikan synagogue, hari Minggu dijadikan
gereja Greco Katholik. Di luar hari-hari itu juga ditetapkan pada hari apa dan
jam berapa umat Islam, Yahudi, dan Greco Katholik membutuhkan untuk
bersembahyang.
Dari Albania, Soemitro menumpang sebuah kapal dan
mendarat di Kairo pada hari Rabu. Pada hari Jumat, kaum muslimin hendak
bersembahyang di masjid Fuad, di antaranya ada dua orang santri Indonesia yang
tinggal di Mesir selama tiga tahun untuk mempelajari Islam. Soemitro juga
bersembahyang di masjid Fuad (ayah Raja Farouk). Sembahyang Jumat akan dimulai
pukul 11.30 waktu setempat. Soemitro menempati bagian serambi paling belakang
dekat dengan pintu besar masjid. Pada pukul 11.00, bapak imam telah tiba dan
beliau dihubungi oleh tiga orang asing yang berbicara dalam bahasa Prancis dan
Inggris. Mereka meminta izin kepada bapak imam agar diperbolehkan berembahyang
menurut agama mereka masing-masing. Bapak imam mengizinkan permintaan itu.
Ketiga orang tersebut bersembahyang di depan Soemitro. Mereka adalah pemeluk
agama yang berbeda, yaitu seorang beragama Protestan, seorang beragama Brahman,
dan seorang beragama Kong Fu Tse.
Setelah sembahyang Jumat selesai, Soemitro menemui
bapak imam masjid fuad. Soemitro merasa memperoleh anugerah dan kehormatan
karena dapat bersembahyang di masjid Fuad, lebih-lebih sembahyang di belakang
tiga orang asing non muslim. Meskipun bapak imam masjid Fuad belum pernah ke
Indonesia, tetapi beliau pernah mendengar bahwa toleransi agama di Indonesia
juga besar. Setelah kembali ke tanah air, sikap tolerannya terlihat jelas
dengan melindungi misionaris Kristen yang bergerak di kawasan Karangkobar, yang
mereka adalah penganut Kyai Sadrach, namun juga mendukung aktivitas pergerakan
keislaman seperti Syarikat Islam di Banjarnegara.
Pada tahun 1915, Soemitro kembali ke tanah air dengan
membawa banyak pengalaman dan ajaran-ajaran dari para guru besarnya. Namun,
Soemitro tidak dapat menyelesaikan kuliahnya. Setahun sebelumnya, di Hindia
Belanda telah dilakukan modernisasi Kepolosian Negara. Seorang pribumi yang
bekerja di lembaga kepolisian bisa mencapai pangkat setinggi-tingginya hoofpolitieopziener (Inspektur Kepala).
Tahun 1917, Soemitro belajar selama dua tahun di sekolah polisi di Jakarta dan
lulus 1919. Selanjutnya, Soemitro ditempatkan di kota Bandung sebagai Komisaris
Polisi Kelas II (seksi chef).
Kemudian, ia naik pangkat menjadi Komisaris I (1922) dan menjadi Gewestelijk Leider De Veldepolitie di
Karesidenan Priyangan Lama. Veldpolitie sama dengan kesatuan Brimob dalam
Kepolisian Republik Indonesia. Jadi, Soemitro merupakan seorang pribumi yang
dapat menembus jabatan yang lebih tinggi daripada hoofpolitieopziener.
3 Zaman
Menjadi Bupati
Setelah menjadi Komisiaris Polisi di daerah Priyangan
(1922-1925), Soemitro diangkat menjadi Wedana Sumpyuh atas permintaan
keluarganya di Banyumas. Selanjutnya, Soemitro diangkat menjadi Bupati
Banjarnegara (1926-1950) untuk menggantikan ayahnya. Pada masa revolusi,
Soemitro menjadi residen Pekalongan (merangkap bupati, 1945) dan merangkap
gubernur yang diperbantukan oleh Kementrian Dalam Negeri tahun 1946. Tahun
1947-1949, ia ikut bergerilya. Soemitro pernah menjadi anggota DPR pada tahun
1955. Soemitro adalah Bupati Banjarnegara tiga zaman, yaitu masa pemerintahan
kolonial Belanda, masa pendudukan Jepang, dan masa Republik Indonesia.
Soemitro sangat tertarik dengan masalah-masalah yang
muncul di pedesaan. Desa yang berbasiskan pertanian dipandang penting sebagai
pemasok kebutuhan orang yang tinggal di kota, khususnya hasil hasil pertanian.
Pembangunan masyarakat desa menemui banyak kendala. Diantaranya adalah letak
desa-desa yang terpencil cukup banyak. Desa-desa tersebut terletak di lereng
gunung dan di tengah rawa-rawa sehingga masalah transportasi pun harus
dipecahkan. Sebagai bupati Banjarnegara, Soemitro tidak sekedar menerima
laoran-laporan yang disampaikan oleh wedana, tetapi ia juga turun ke desa-desa
untuk mengetahui persoalan berbagai bidang, misalnya, keamanan, pertanian,
kehewanan, kehutanan, pengairan dll. Masalah pembangunan di desa dilakukan
dengan mengintensifkan lembaga-lembaga yang sudah ada. Setiap desa dipimpin
oleh seorang lurah. Di Karesidenan Kedu dan Banyumas terdapat 4-5 desa yang menjadi satu-kesatuan
dan dipimpin oleh pinisepuh yang
disebut penatus. Wilayah itu disebut
daerah penatusan biasanya memiliki
3.000-5.000 penduduk. Penatus dipilih dari lurah-lurah. Penatus bertugas
sebagai penasihat lurah dan membantu camat dalam bidang pedesaan, serta menjadi
bapak bagi penduduk penatusan. Di Karesidenan Kedu, penasihat semacam itu
disebut glondhong dan daerahnya glondhongan.
Kabupaten Banjarnegara pada zaman kolonial Belanda
meliputi kurang lebih 250 desa yang terbagi menjadi 50 penatusan. Sebagai
bupati, Soemitro membina hubungan yang baik dan erat dengan desa-desa serta
menciptakan rasa persaudaraan. Hubungan pribadi Soemitro dengan penduduk desa
dimulai dengan kunjungan pribadi dan secara rahasia, tanpa ada pengawal.
Penduduk yang dikunjungi secara pribadi biasanya dipilih dari setiap penatusan
sebanyak 1-3 orang. Orang-orang yang dipilih biasanya memiliki keluarga besar.
Syarat lain adalah kejujuran, progresif, berani, terus-terang, dan pengalaman
hidup yang luas. Selain itu, ia juga harus dapat dipercaya penatus dan
lingkungan desanya.
Kunjungan pribadi selalu bersifat rahasia. Soemitro
berpakaian sederhana dan biasanya membawa sedikit oleh-oleh seperti kue, tempe
keripik, dll. Soemitro mendatangi desa sendirian dengan berjalan kaki sejauh
5-10 km. kunjungan bupati secara rahasia selalu mengejutkan sehingga banyak
orang berdatangan untuk melihat wajah bupatinya. Soemitro tidak banyak bicara
melainkan banyak mendengar laporan-laporan tidak resmi dari mulut rakyatnya.
Kunjungan pribadi Soemitro telah mendekatkan ia dengan
rakyatnya. Pendekatan itu mempermudah tugasnya sebagai bupati. Berbagai
kesulitan, kekerasan, dll., dapat diselesaikan dengan mudah. Kepercayaan dari
rakyat akan sangat menunjang kerja seorang bupati. Pendek kata, seorang pejabat
yang merakyat dan menjauhkan diri dari sikap feodalistik, akan lebih sukses
dalam menjalankan tugasnya. Kehidupan bersama rakyat menjadikan Soemitro hidup
dengan penuh kesederhanaan. Selain menerima laporan tidak resmi, Soemitro juga
banyak mendengarkan keluh-kesah rakyatnya. Berbagai keluhan dijawab oleh
Soemitro dengan cara menghibur rakyatnya.
Di samping itu, Soemitro ternyata seorang juru
penerang pertanian yang berhasil, bahkan ia menjadi perintis kerajinan keramik
di Banjarnegara. Soemitro telah menemukan suatu daerah yang tanah liat yang
amat baik untuk dijadikan bahan keramik, yaitu di Klampok. Ia memeriksakan
tanah liat itu ke Bandung dan meminta penjelasan lengkap tentang kemungkinan
pemanfaatannya. Lalu, ia dirikan pabrik kecil untuk membuat keramik. Soemitro
juga menemukan cara agar keramik itu lebih indah dan mengkilap. Pengalaman
hidup Soemitro di Eropa telah mempengaruhi kehidupannya di kemudian hari. Di
samping kehidupannya dengan rakyat jelata, Soemitro juga pernah menjadi anggota
Badan Penasihat dan Pembantu Jawatan Kehutanan Negara dan Dinas Purbakala.
Soemitro memilki tiga orang idola, yaitu Dr. dms.
Albert Schweitzer dari Elzas, Rabindranath dari india, dan Prof. Mr. Cornelis
van Vollenhoven dari negeri Belanda. Tokoh yang terakhir adalah guru besar dari
Universitas Leiden, Nederland , yang sering disebut sebagai Bapak Ilmu Hukum Adat di Indonesia.
Prof. van Vollenhaven ketika berkunjung ke
Banjarnegara tahun 1933, menemui Soemitro dan membicarakan secara ilmiah
kondisi dunia pada periode 1910 sampai 1933 selama setengah jam. Pokok-pokok
pesan dari Prof. van Vollenhaven tidak jauh berbeda dengan nasihat orang tua
Soemitro agar tidak terlalu mendewakan
pangkat yang tinggi, tidak terlalu bangga terhadap trah kebangsawanannya, dan
tidak mengejar popularitas yang kosong. Satu hal yang mengejutkan Soemitro
adalah pengakuan Prof. van Vollenhaven yang menganggap dirinya onrij (belum matang) sehingga tidak
menjawab pernyataan Soemitro tahun 1912 dan baru tahun 1933 dijawab. Pada bulan
april 1933, Prof. van Vollenhaven meninggal dunia setelah memberi pesan-pesan
terakhirnya kepada Soemitro.
Soemitro berharap agar generasi muda memahami berbagai
macam kondisi kehidupan, baik di luar negeri maupun di Indonesia. Soemitro
dengan keyakinan yang kuat telah membuktikan bahwa kehidupan bukan hanya
bertumpu pada gelar kebangsawanan saja, melainkan juga keuletan dan kesabaran
dalam menghadapi segala tantangan hidup.
Soemitro menyarankan agar generasi muda tidak hanya
mengejar kemajuan jasmaniah saja, tetapi juga kemajuan di bidang ilmu
pengetahuan dan kerohanian (agama). Keseimbangan kemajuan di bidang-bidang tadi
harus diupayakan secara terus-menerus. Sehubungan denan hal itu, Soemitro
mengajukan tiga alat pelaksana hidup, yaitu kejujuran, kejuruan, dan
pengalaman. Ketiga hal itu merupakan kunci pokok dalam menghadapi kehidupan
yang kompetetif. Pada masa kini, kejujuran diabaikan dan merupakan barang yang
langka serta dianggap sebagai penghambat kemajuan. Kejuruan dan pengalaman
kerja lebih diutamakan. Hal itu tampak jelas manakala Soemitro pergi ke Eropa
pada tahun 1951 dan 1952. Pada masa itu, Eropa sangat maju bila dibandingkan
dengan lima puluh tahun yang lalu. Di samping ada kemajuan yang menajukjubkan,
di beberapa Negara terjadi kemerosotan moral yang amat membahayakan kehidupan
manusia di kemudian hari.
Kerusakan di muka bumi ini disebabkan oleh dua faktor,
yaitu kemajuan di bidang material dan kemerosotan moral. Dalam pendidikan,
manusia juga belajar dari alam dan lingkungannya. Pada hakikatnya pendidikan
mengarahkan pada manusia agar dapat menikmati keindahan dunia tanpa kecemasan
akan rasa serba kurang. Segala peristiwa yang berbau penindasan, saling bunuh,
gila (harta, tahta, wanita) merupakan produk pendewaan materialisme. Soemitro
memberi contoh bahwa sejarah Indonesia sangat akrab dengan kerusakan, baik
kerusakan dari penjajah maupun bangsa sendiri. Kerusakan mudah dilakukan dalam
waktu yang singkat, Sebaliknya membangun kembali akan membutuhkan waktu yang
cukup lama dan biaya yang amat mahal, serta korban jiwa yang tidak sedikit.
Menurut Soemitro, kehidupan manusia seperti hukum
spiral, ada kalanya naik dan turun. Pada saat naik, kesadaran manusia diarahkan
ke hadirat ilahi, Sebaliknya ketika mencapai titik bawah, kesadaran itu
dicampakkan begitu saja. Setiap orang harus mengubah dirinya sendiri manakala
ada keinginan mengubah masyarakat. Setiap orang hendaknya belajar sendiri
dengan cara mengamati segala sesuatu yang terjadi di sekitarnya. Dalam belajar,
orang di samping berkonsentrasi, juga menaruh perhatian. Memang, konsentrasi
menyebabkan manusia tidak melihat semuanya, sebaliknya jika manusia menaruh
perhatian akan melihat banyak hal. Manusia akan menemukan kehiduoan religius
yang sesungguhnya. Belajar sendiri juga
akan melahirkan pikiran yang luar biasa kritis dan sekaligus
kebijaksanaan.
Masyarakat merupakan komponen pendidikan yang tidak boleh
diabaikan karena mengisi jiwa dengan berbagai nilai yang berarti dalam hidup,
misalnya, persaudaraan, perikemanusiaan, sopan santun, kebersamaan, gotong
royong, dll.
Bagi Soemitro, belajar tidak selalu kepada para guru
saja, melainkan juga para petani wong
cilik yang tinggal di pedesaaan.
Manusia harus belajar dari siapa pun, bahkan kepada seorang buta huruf pun
manusia dapat belajar. Pengalaman hidup tinggal di negeri Belanda, Jerman,
Cekoslowakia, Perancis, Swedia, Russia, Latvia, Albania, dan Mesir telah
mengisi jiwa Soemitro. Ia diterima dengan baik oleh masyarakat yang jauh di
luar budaya dari mana ia berasal. Pertolongan dan bantuan diterima Soemitro
tanpa disangka-sangka sebelumnya. Keadaan seperti itu membuat Soemitro
seolah-olah hidup di negerinya sendiri dan tidak merasa asing. Tolong menolong
merupakan kewajiban hidup seseorang. Soemitro selalu memgang ucapan Dr. dms.
Albert Schweitzer dan Rabindranath Tagore sebagai berikut.
“Kalau saya dalam kesulitan hidupku ditolong dengan
kerelaan hati oleh seorang lain, wajiblah seumur hidup ingat akan kebaikan itu.
Kalau saya mendapat kesempatan untuk menolong orang lain yang berada dalam
kesengsaraan, janganlah saya membicarakan jasaku itu, bahkan saya harus secepat
mungkn melupakan perbuatanku itu. Mengapa? Sebab bantuan itu tidak lain tidak
bukan suatu kewajiban hidup!”
Menjadi
Anggota BPUPKI
Kehidupan Soemitro erat dengan Pergerakan Nasional dan
kemerdekaan Indonesia. Ketika di Belanda, tahun 1908, ia adalah aktivis Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia)
atas dorongan Abendanon dan Casajangan[5],
yang organisasi tersebut nantinya menjadi cikal bakal Perhimpunan Indonesia.
Soemitro menjabat sebagai sekretaris di sana. Dengan kata lain, Soemitro adalah
senior dari para mahasiswa pergerakan di belanda seperti Mohammad Hatta. Tak
mengherankan, jika saat ia telah pulang dari Belanda dan akhirnya menjadi
Bupati Banjarnegara, pada era kepemimpinannya pergerakan nasional di
Banjarnegara berlangsung pesat, terutama pergerakan Syarikat Islam. Tercatat
dua even besar Syarikat Islam berlangsung di Banjarnegara, yaitu pada tahun
1928 ketika menjadi tuan rumah kongres Sjarikat Islam Afdeling Pandoe (SIAP),
dimana Haji Agus Salim memimpin kongres, dan pada tahun 1934 ketika kongres
terakhir SI yang dihadiri HOS Tjokroaminoto berlangsung di Banjarnegara[6].
Tak mengherankan juga jika ketika akhir pendudukan
Jepang, dibentuk Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan (BPUPK), Soemitro terpilih
sebagai salah satu diantara 60 anggotanya[7].
Ia duduk dengan nomor kursi 40. Dalam sidang BPUPK tersebut, Soemitro juga
memberikan saran agar proses kemerdekaan perlu diperjuangkan secepat mungkin[8].
Sejalan dengan pemikiran Sukarno yang tidak ingin njlimet dalam urusan pembahasan persiapan kemerdekaan Indonesia
dalam pidato di rapat BPUPK, 1 Juni 1945. Soemitro dalam sidang BPUPKI
menyatakan:
Pada waktu ini kita harus mengadakan usul yang praktis, yang nyata dapat
dijalankan, selekas mungkin jangan kita mnta keadaan 100% yang tidak mungkin
dilaksanakan dalam peperangan, sebab keadaan sehari-hari dipengaruhi oleh
peperangan. Asal keadaan bisa berjalan, sedikit demi sedikit kita dapat
menambah dengan 5%, 10%, 15%, lama-kelamaan tercapailah Indonesia Merdeka yang
bulat[9].
Pada era transisi dari Jepang kepada Republik
Indonesia, Soemitro berhasil melaluinya tanpa pergolakan berarti, sehingga
tidak terjadi kekerasan sebagaimana yang terjadi di Peristiwa 3 Daerah (Brebes,
Tegal dan Pemalang) dimana terjadi “perang saudara”. Ia juga turut melakukan
gerilya ketika masa agresi militer I maupun II. Selepas merdeka seratus persen,
Soemitro menjadi anggota DPR hasil Pemilu tahun 1955 mewakili Ikatan Pendukung
Kemerdekaan Indonesia dari daerah pemilihan Jawa Tengah. Ia mengakhiri karirnya
sebagai akademisi di Jurusan Sosial Politik Universitas Gadjah Mada.
Soemitro
memperoleh tanda penghargaan: Satyalencana peringatan Perjuangan Kemerdekaan
Nomor Skep 228 tahun 1961, Satyalencana Karya Satya Nomor 228 tahun 1961, dan
Bintang Mahaputra Utama (Kepres Nomor: 048/TK/ Tahun 1992) tanggal 12 Agustus
1992.
II. Sumber:
ANRI, AK Pringgodigdo Nomor: 5645. “Denah
Tempat Duduk Anggota BPUPK”
Amelz. 1952. “HOS Tjokroaminoto:
Hidup dan Perdjuangannja”. Jakarta: Penerbit Bulan Bintang.
Poeze, Harry A. 1988.”Orang-Orang
Indonesia di Universitas Leiden” dalam W.A.L. Stokhof dan N.J.G Kaptein.
Beberapa Kajian Indonesia dan Islam. Jakarta: Indonesian Netherlands
Cooperation in Islamic Studies.
Poeze, Harry A. 2008. “Di Negeri
Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda, 1600-1950”. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia.
Poseponegoro, Marwati Djoenoed. 2008. “Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI, edisi Pemutakhiran”. Jakarta:
Balai Pustaka.
Priyadi, Sugeng. 1995. “Tedhakan
Serat Babad Banyumas: Suntingan Teks, Terjemahan dan Fungsi Genealogi dalam
Kerangka Struktur Naratif”. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Priyadi, Sugeng. 2015. “Menuju
Keemasan Banyumas” . Yogyakarta: SIP UMP dan Pustaka Pelajar.
Sekretariat Negara Republik Indonesia. 1995. “Risalah Sidang Badan penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia,
Panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia, 28 Mei 1945-22 Agustus 1945”.
Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.
[1] Priyadi, Sugeng. 1995. “Tedhakan Serat Babad Banyumas: Suntingan
Teks, Terjemahan dan Fungsi Genealogi dalam Kerangka Struktur Naratif”.
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
[2] Poeze, Harry A.
1988.”Orang-Orang Indonesia di Universitas Leiden” dalam W.A.L. Stokhof dan
N.J.G Kaptein. Beberapa Kajian Indonesia dan Islam. Jakarta: Indonesian
Netherlands Cooperation in Islamic Studies.
[4] Poeze, Harry A. 2008. “Di
Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri belanda, 1600-1950. Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia.
[5] Poeze, Harry A. 2008. “Di
Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri belanda, 1600-1950. Jakarta:
kepustakaan Populer Gramedia.
[7] Poseponegoro, Marwati
Djoenoed. 2008. “Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI, edisi Pemutakhiran”.
Jakarta: Balai Pustaka.
[8] Sekretariat Negara
Republik Indonesia. 1995. “Risalah Sidang Badan penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia, Panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia, 28 Mei 1945-22
Agustus 1945”. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.
Status: Bangunan sejarah bukan cagar budaya, tapi berpotensi menjadi cagar budaya. Belum Terregistrasi
(Pihak Berwajib harap segera meregistrasikan)
Sanksi Pelanggaran
Cagar Budaya
- Sanksi
Dasar (untuk setiap orang)
Pelaku kriminal dikenakan hukuman penjara minimal 3 bulan sampai maksimum 15 tahun, dengan denda uang minimal Rp 10.000.000,00 dan maksimum Rp 1.500.000.000,00. (pasal 101 – 112) - Sanksi
Tambahan (pasal 115)
- wajib mengembalikan cagar budaya kepada
kondisi keasliannya, baik bahan, bentuk, tata letak, dan/atau teknologi
pengerjaannya atas tanggungan sendiri;
- perampasan keuntungan yang diperoleh dari
tindak pidana;
- Untuk
badan usaha berbadan hukum dan/atau
badan usaha bukan berbadan hukum dikenai tindakan pidana tambahan berupa
pencabutan izin usaha.
- Jika
pejabat karena melakukan
perbuatan pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya, atau
pada waktu melakukan perbuatan pidana memakai kekuasaan, kesempatan, atau
sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya terkait dengan
pelestarian cagar budaya, pidananya dapat ditambah 1/3 (sepertiga). (pasal
114)
0 komentar:
Posting Komentar